Hajimari [Hariett] #1
Malam sabtu.

Dan baginya setiap malam selalu sama. Ramai, heboh, berisik dan menyenangkan. Gadis itu tertawa puas sambil memeluk kedua lututnya yang dinaikan diatas kursi nya. Matanya menatap lurus kearah layar komputernya yang terlihat ramai. Esok adalah hari Sabtu dan lusa adalah hari Minggu. Kedua hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh gadis remaja berumur 19 tahun ini. Tetapi tentu saja ia tak mengincar Sabtu dan Minggu agar bisa keluar bersama teman-temannya,hang out bareng, berbelanja baju dan sebagainya. Juga tidak untuk bertemu sang kekasih, menghabiskan malam indah dan romantic bersama, tertawa bahagia di sepanjang jalan sibuk Harajuku. Sama sekali tidak. Ia bisa berkumpul dengan teman-temannya setiap malam lewat internet dan dia juga tidak bisa dibilang mempunyai seorang kekasih khusus. Ia menanti Sabtu dan Minggu karena di dua hari itu ia bisa diam dikamar tanpa keluar rumah sedikit pun. Berpesta dikamar nya yang bernuansa warna khas perempuan.

Kehidupan Hariett hanya berada di seputar kamar dan dunia Internetnya. Setiap orang memang membutuhkan kerja dan ya, Hariett pun bekerja. Ia terpaksa meninggalkan kamar nya setiap Senin hingga Jum’at dari pukul 10 pagi hingga pukul 6 sore. Bekerja part-timer di salah satu toko makanan siap saji adalah pilihan yang tak pernah Hariett sesali meski ia harus terus tersenyum dalam keadaan apapun. Tapi itu lebih baik baginya yang sangat sulit dekat dengan orang dan lebih memilih menyendiri daripada berinteraksi dengan orang lain. Bekerja di toko makanan siap saji memang menuntutnya untuk berinteraksi dengan orang, tapi itu hanya formalitas. Hanya di balik meja dan dibalik alat hitung saja. Setelah orang itu selesai memilih makanan, maka selesai lah perannya terhadap orang itu. Ia hanya harus berinteraksi selama beberapa menit.

Rumah besar yang terletak di Harajuku ini adalah rumah yang diberi oleh paman nya Hariett. Namun tidak sepenuhnya diberi karena pamannya hanya membayarkan 2 tahun cicilan pertama saja. Sisanya, Hariett harus membayar sewanya sendirian. Ini adalah konsekuensi karena gadis ini memaksa ingin tinggal di Jepang karena ingin meneruskan hobinya terhadap anime, manga dan segala hal yang berhubungan dengan hal itu kecuali games online. Juga dia ingin tinggal di Jepang agar lebih mudah mengumpulkan koleksi nya terhadap band Jepang kesukaannya dan barang-barang original lainnya yang menyangkut dengan hobinya. Ia tak ingin melanjutkan kuliahnya karena ia sudah mendedikasikan hidupnya kepada hobi. Mungkin ia akan kuliah jika sudah bosan dengan hobinya, itu pun entah kapan.

Selama 1 setengah tahun pertama, Hariett hidup tenang di Jepang dengan rumah besar serta satu pembantu—yang biasa di sebut maido di Jepang, tanpa pekerjaan. Namun belakangan ia baru merasakan beratnya hidup seperti itu. Harus membayar uang rumah, listrik, air juga internet. Belum lagi segala pakaian dan kebutuhan yang kebanyakan ia pesan melalui layanan internet. Akhirnya Hariett memutuskan untuk menyewakan 3 kamar sisanya yang kosong. Satu kamar sudah terisi oleh seorang gadis glamour yang terlalu peduli dengan rambut, kuku dan segala hal detil lainnya dari tubuh gadis itu. Tapi lumayan, dengan adanya gadis itu, keuangan Hariett agak terselamatkan. Tapi setelah 3 bulan berlalu, ia masih merasa kepayahan dan akhirnya ia mulai melamar pekerjaan sampingan di toko makanan siap saji tersebut. Plus membuka usaha jual action figure,majalah, anime, manga dan barang-barang original Jepang lewat Internet ke pengkoleksi yang berada di luar Jepang.

Dari situ pun Hariett mendapatkan sedikit keuntungan. Namun, ia masih merasa bahwa kamar sisa itu masih harus disewakan. 4 orang lebih baik dibandingkan 1 orang yang membayar rumah meski dengan begitu pemakaian listrik dan air akan bertambah pula. Tetapi ini demi kelangsungan hidupnya di Jepang. Awalnya ia ragu, namun setelah mencoba tinggal bersama Ally ia mempunyai suatu kesimpulan sendiri. Meski tinggal satu rumah bersama, tidak harus mereka saling berinteraksi. Kamar itu Hariett sewakan bukan karena ia butuh teman di dunia nyata, tapi karena ia butuh orang yang bisa membantunya membayar rumah. Dan orang itu pun butuh rumah untuk tinggal. Mereka hanya sekumpulan orang yang terikat oleh sistem Simbiosis Mutualisme.

“Hm? Sudah jam 6?” Hariett bergumam ketika satu seri anime komedi nya sudah habis ia tonton. Jam digital di pojok kanan bawah di layar komputernya menunjukkan bahwa sekarang sudah masuk Sabtu pagi. Hariett menguap lebar dan merentangkan tangannya keatas. Ia baru sadar bahwa badannya kini pegal-pegal karena duduk terus menonton sejak malam. Ia mengucek pelan mata nya dan mengintip messangernya. Masih banyak yang online. Mereka semua adalah teman-teman Hariett didunia internet yang mempunyai hobi yang sama. Setelah Hariett mengucapkan oyasumi, ia mematikan messangernya dan berjalan menuju ranjang empuknya. Komputer ia biarkan menyala karena ia sedang mengunduh beberapa video.

“Hoaahm—harus tidur. Jam 10 ada yang mau datang,” gumam Hariett sambil masuk kedalam selimut tebalnya. 5 menit kemudian gadis itu sudah tertidur tanpa suara.

Ting Tong

Ting Tong

Hariett membuka matanya yang masih terasa berat. Matanya masih setengah terpejam dan tangannya sedang sibuk meraba-raba daerah bawah bantal dan sekitar bantalnya. Mencari di mana telepon genggam berwarna putihnya berada. Ketika tangannya merasa menyentuh benda elektronik itu, ia membuka matanya dengan sekuat tenaga dan membaca jam yang muncul di layar handphone. “Jam 10,” gumamnya. Namun apa daya, matanya masih mengantuk dikarenakan baru tidur 4 jam. Alih-alih bangun dan membuka pintu untuk menyambut teman barunya, Hariett malah menaruh kembali kepalanya diatas bantal empuk dan melanjutkan tidurnya.

Label:


Hajimari [Puri] #1

Sabtu, biasanya merupakan hari yang menyenangkan bagi kebanyakan orang, dimana merupakan waktunya libur dari pekerjaan dan bisa menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Namun sayangnya bagi Puri tidak untuk hari ini, sebab dirinya sedang dalam perjalanan menuju rumah baru. Ya, sudah dua minggu sejak gadis ini memijakkan kaki di Jepang, yang tak akan mungkin dilakukannya kalau bukan demi meneruskan pendidikannya agar mendapatkan pengalaman yang lebih baik. Dan dalam dua minggu lalu dirinya sibuk mencari tempat tinggal sendiri, sebab memang tempat tinggal tak masuk dalam fasilitas yang ia dapatkan dalam program pertukaran pelajar yang gadis ini jalankan. Untung saja, pada akhirnya ia dapat menemukan tempat yang cocok setelah mencari lowongan sewa rumah di jaringan internet.

Dan hari ini, seperti dalam perjanjian, saatnya Puri datang ke calon rumah barunya untuk melakukan kesepakatan terakhir. Masalahnya ia samasekali baru dengan lingkungan ini, kini berdirilah gadis ini di depan stasiun tertegun karena tak tahu harus melangkah kemana. Mungkin dirinya lebih terlihat seperti anak yang tersesat dengan koper dorong ditangan kanan dan kertas berisi gambar rumah ditangan kiri. Belum lagi penampilannya yang memakai celana jeans kebiruan dan jaket yang juga berbahan jeans yang bisa dibilang kebesaran, lebih mirip seperti anak yang kabur dari rumah daripada pelajar. Beberapa saat kemudian barulah dirinya sadar, kalau pepatah ‘takut bertanya sesat dijalan’ adalah fakta yang sangat menohok. Sejujurnya Puri tak pandai dalam berbicara dengan orang yang belum dikenal, sehingga untuk sekedar menanyakan jalan pun rasanya berat. Namun sepertinya tak ada jalan lain, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh, sementara perjanjian diadakan sekitar jam sepuluh. Lagi-lagi sebuah peringatan bagi Puri yang biasa menunda-nunda waktu hanya untuk memperpanjang jam tidurnya.

Dengan keputusan untuk menanyakan saja alamat rumah kepada seseorang disana, gadis ini kemudian mengedarkan pandangannya, mencari seseorang yang sekiranya tidak sibuk, yang mana tidak mungkin mengingat semua orang pasti memiliki pekrjaannya masing-masing. Akhirnya Puri menghampiri seorang wanita setengah baya, nampaknya seorang ibu rumah tangga. Lalu bertanya seraya menunjukkan foto

“Permisi, saya ingin bertanya sebentar. Kira-kira alamat ini arahnya kemana ya?”

Syukurlah wanita itu bersedia menjelaskan jalan, namun tiba-tiba,

“Ah, kau juga mau kesana? Aku ikut!”

Puri segera menoleh ke arah suara itu, sangat janggal karena kata-kata itu terdengar dalan bahasa inggris, ditemukannya seorang gadis yang–hitam. Bukan, bukan kulitnya yang hitam, melainkan pakaian yang membalut tubuhnya, mulai dari pakaian hingga sepatu, terdapat warna gelap itu.

“Are? Anda.. mau kesana juga?”

“Iya! Aku ikut!”

Berpikir sebentar.

“Oke kalau begitu, ayo kesana bersama. Mungkin akan lebih cepat menemukan rumahnya nanti.”

“Ah! Oke kalau begitu! I’m so lucky!”

Jadi, setelah selesai menanyakan jalan, Puri pun kini beranjak menuju rumah barunya bersama seorang gadis yang nampaknya akan jadi teman satu rumahnya. Setidaknya itu yang ada dalam pikiran Puri, melihat dari keadaan yang tadi. Sepanjang jalan Puri enggan menanyakan kebenaran akan gadis yang kini sedang bersamanya ini. Demam sosialnya masih tinggi.

“Eh, maaf sebelumnya.. Nama ku Kurtzee Nichole Vaughn, panggil saja Kurtzee.”

Dan akhirnya suara dari sang gadis hitamlah yang memecah hawa beku diantara mereka. Puri hanya tersenyum dan membalas,

“Ah, maaf, aku juga lupa. Aku Puri, Puri Ananda.”

Label:


hajimari [kurtzee] #1

’Haruskah kamu pindah?'

Pertanyaan satu itu terus mengiang di pikirannya, pertanyaan yang membuat hati gadis jangkung itu terasa begitu berat dan bisa membuat tekadnya yang kuat itu goyah. Kalau bukan karena laki-laki bermata biru keabuan itu yang bertanya, ia tidak akan memperdulikannya. Siapa laki-laki itu? Mengapa nampak memiliki pengaruh yang besar terhadap gadis yang selalu menggonta-ganti warna rambutnya itu? Laki-laki berkulit pucat, berambut hitam dan memiliki tindikan di bibir bawahnya itu adalah satu-satunya laki-laki yang bisa merebut hati gadis yang bernama lengkap Kurtzee Nichole Vaughn. Laki-laki yang selalu ia sayangi dan sangat berarti baginya itu bernama Oliver Remington. Walaupun begitu, gadis bermata coklat itu tetap berpegang teguh dengan tekadnya, sebuah tekad yang dapat merubah kehidupannya. Kurtzee merasa kalau dirinya sudah dewasa dan harus jauh lebih mandiri lagi, tidak mau menjadi anak yang selalu membebani kedua orang tuanya yang telah bercerai. Ia ingin bekerja, memiliki penghasilan dan hidup sendiri.

Kurtzee diterima sebagai guru bahasa Jerman – Inggris di Jepang, sebelumnya hal ini memang tidak pernah terpikirkan olehnya. Namun saat ia mencari pekerjaan di internet, ia mencoba mengirimkan CV lengkap ke salah satu lembaga bimbingan belajar yang terletak di Tokyo bernama ‘The Institute of Foreign Language’. Ia mendapatkan biaya akomodasi penuh dari lembaga itu untuk berangkat menuju Jepang, namun ia harus mencari tempat tinggal yang pas dan nyaman disana. Kurtzee mendengar kalau biaya kehidupan disana itu sangat lah mahal, apartemen dan segala kebutuhan sehari-hari. Apakah lebih mahal daripada di Amerika atau Jerman? Ia rasa tidak. Sambil mendownload lagu-lagu dari band EMO kesukaannya, music video Jepang dan Korea, ia menemukan sebuah iklan dimana ada sebuah rumah yang nampak bagus dan nyaman untuk ditinggali. Untuk menyewa satu rumah sendirian sungguhlah mahal, namun iklan itu menyebutkan kalau satu rumah itu akan di tempati oleh empat orang dan biaya bulanannya akan di tanggung bersama. Tanpa berpikir banyak lagi, Kurtzee langsung membuat janji dengan sang pemilik rumah yang juga tinggal di sana dan besok mereka akan langsung bertemu di rumah itu.

Sabtu pagi, Tokyo, Japan.

“Wah, inikah Tokyo...” guman dirinya pelan sambil melihat keseluruhan stasiun dengan matanya yang nampak berbinar-binar. Walaupun ia menyukai artis-artis Jepang, ia belum pernah sama sekali menginjakkan kakinya di Negri Matahari terbit itu. Seperti biasa, hari ini ia mengenakan kaos hitam jangkis berlogo band EMO kesukannya, skinny jeans hitam dan sepatu Converse bermotif papan catur. Ia hanya berbekal satu tas gembol dan satu buah koper besar, ia sama sekali tidak membawa perabotan rumah. Karena Ibu nya berjanji akan mengirimkan barang-barangnya melalui paket kiriman kilat. Ya, Ibunya memang berasal dari keluarga mapan yang tinggal di kota Frankfurt, Jerman. Jadi tidak akan sungkan untuk mengeluarkan biaya yang besar demi anak nya sendiri kan? Sebenarnya Kurtzee tidak ingin merepotkan Ibu nya seperti itu, namun Ibu nya saja yang memaksa. Tapi Kurtzee sudah mengingatkan kalau jangan semua barang-barang dia dikirimkan, hanya yang terasa di butuhkan dan penting saja. Maklum, Ibunya terlalu overprotective. Dan sekarang bukan saatnya mengulas habis Ibunya yang cerewet itu, sekarang ia harus menuju ke rumah yang akan menjadi tempat persemayamannya selama di Jepang. Wajahnya yang selalu nampak jutek terhadap orang yang tidak ia kenali itu adalah tameng yang menutupi kalau sekarang sebenrnya ia panik. Kenapa panik? Kurtzee pemberani kan? Ya, dia memang disegani oleh preman-preman pinggiran kota, namun di Jepang ia adalah orang baru yang sama sekali tidak mengerti jalan bahkan belum lancar berbahasa Jepang. Mau tidak mau ia harus bertanya kepada orang lain, mata coklat keabuannya menyeruak memandangi orang-orang yang ada di stasiun itu. Telinganya yang tajam itu mendengar suara perempuan yang sedang bertanya kepada orang lain tentang alamat rumah, ia pun reflek menoleh.

Seraya melihat sebuah gambar yang dipengang oleh gadis bercelana jeans kebiruan beserta jaket jeansnya itu ia langsung saja menyela pembicaraan kedua orang itu. “Ah, kau juga mau kesana? Aku ikut!” seru Kurtzee yang langsung merubah ekspresinya menjadi lebih gembira dan bersemangat. Wajar, ia merasa sungguh beruntung bukan main saat bertemu gadis cupu yang sangat jadul dan ketinggalan mode itu juga berniat menuju rumah yang sama dengannya. Di tahun modern seperti ini masih saja ada orang berdandanan seperti itu? Oh GOD. Entah dirinya harus merasa kasihan atau mencemoohnya, tapi itu hak gadis culun kuno itu lah, Kurtzee tidak akan memperdulikannya selama dirinya tetap keren. Cuma ia tidak habis pikir saja, ternyata masih ada anak kuper seperti itu. Tetapi demi tidak tersasar di Jepang, ia pun rela pergi bersama gadis yang ternyata ramah itu.

“Are? Anda... mau kesana juga?” tanya gadis pendek yang nampak seperti bocah ingusan yang lepas dari pelukan Ibunya.

“Ah! Oke kalau begitu! I’m so lucky!” ucapnya sambil mengarahkan tangan kanannya keatas.

Mereka pun berjalan menuju rumah yang dituju, selama perjalanan, rasanya sungguh sepi. Layaknya kuburan tidak berpenghuni, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut gadis yang nampaknya bukan berasal dari benua Eropa atau Jepang. Warna kulitnya kuning langsat, tipikal-tipikal berkulit bagus kalau kata Tante-tante yang selalu menghabiskan waktunya di salon hanya untuk mencoklatkan kulitnya. Mereka bilang sih seksi, entah selera rendah macam apa pula itu. Tidak ada salahnya jika memulai percakapan terlebih dahulu kan?

“Eh, maaf sebelumnya... Nama ku Kurtzee Nichole Vaughn, panggil saja Kurtzee.” ucapnya sambil menyimpulkan senyuman kepada gadis kuper jadul itu.

“Ah, maaf, aku juga lupa. Aku Puri, Puri Ananda.”

Perjalanan terasa begitu lama karena orang yang ada disamping dirinya itu begitu membosankan, nampak tidak punya style khusus yang menarik hatinya. Namun semua itu terbayar saat mata tajam ber eyelinernya itu melihat sebuah rumah yang sama persis dengan yang ia lihat saat di internet maupun dari foto milik gadis membosankan itu. Tanpa memberikan jeda sedetik pun kepada gadis yang mengakui kalau dirinya bernama Ananda itu, Kurtzee langsung saja menekan tombol bel rumah itu berkali-kali. Baginya, menekan bel rumah itu sangatlah menyenangkan, apalagi kalau setelah ia tekan ia langsung kabur bersembunyi sambil terkekeh.

Label:


Hajimari [Ally] #1
Hari itu, si cantik Ally terbangun pagi-pagi sekali. Jam tujuh pagi—saat Hariett baru saja tidur—dia sudah sibuk bolak-balik di kamarnya. Memilih-milih pakaian, hiasan rambut dan aksesoris untuk dipakainya. Wajahnya yang halus itu pun kini tertutup dengan masker lumpur hijau untuk menjaga kehalusan dan kekencangan kulitnya. Dengan anggun, gadis berusia 19 tahun itu melangkah ke kamar mandinya yang bernuansa putih dan emas, mencelupkan telapak tangannya untuk mengukur suhu air pada bak mandinya. Pas hangatnya. Hihi. Kemudian, dia mengambil sebotol minyak mandi beraroma mawar dan menuangkan beberapa tetes ke air.

Sambil bersenandung, Ally masuk ke dalam bak mandi dan berendam di sana selama tiga puluh menit. Perawatan kulit dan wajah adalah hal yang amat sangat penting bagi Ally yang berprofesi sebagai part-time model. Hampir setiap saat wajahnya dipoles dengan make-up, bahkan di dalam rumah. Katanya sih, untuk jaga-jaga bila mendadak ada urusan keluar rumah atau bila tiba-tiba ada fotografer jalanan yang hendak memotretnya. Padahal, alasan sesungguhnya adalah kepercayaan diri. Gadis itu takkan membiarkan seorangpun melihat wajahnya yang polos tanpa polesan. No no no.

Sudah tiga bulan Ally tinggal di rumah besar yang terletak di suatu tempat di Harajuku, Tokyo. Dia menemukan rumah ini saat berselancar di internet mencari tempat tinggal di Jepang. Sebelumnya, Ally tinggal di Paris. Gadis itu dikontrak oleh sebuah model agency bergengsi yang ada di Tokyo dan mengharuskan Ally untuk tinggal menetap selama masa kontraknya berlangsung. Untung saja, Ally merupakan blasteran Jepang-Perancis. Jadi, sejak kecil dia sudah fasih berbahasa Jepang dan cukup akrab dengan budaya negeri sakura itu.

Ally dengan santai keluar dari bak mandi, meraih selembar kimono handuk dan memakainya. Rambutnya yang basah digulung dengan handuk berukuran sedang. Waktunya berdandan. Kalau di rumah, Ally hanya berdandan tipis-tipis. Natural dan tidak terlalu tebal. Lagipula, wajahnya memang sudah cantik dari lahir. Make-up tebal hanya diperlukan saat pesta, fashion show dan pemotretan. Ally memoleskan eyeshadow pink tipis-tipis pada kedua kelopak matanya setelah sebelumnya memakai bedak tabur ber-merk mahal. Diberikannya garis hitam di seputar mata dengan eyeliner untuk mempertegas bentuk matanya, kemudian ditambah blush-on peach dan lipgloss cherry. Perfect.


Ting Tong

Ting Tong


"Eh? Sudah jam 10?" gumam Ally seraya melirik pada jam meja berbentuk Hello Kitty di atas meja komputernya. Gadis itu buru-buru mengeringkan rambutnya dan membiarkannya tergerai—seksi. Masih dengan tubuh berbalut kimono handuk putih yang lembut, Ally melangkah keluar dari kamar untuk membukakan pintu. Yeah, semalam Hariett sudah bilang bahwa pagi ini akan ada dua orang gadis yang mau menempati dua kamar yang tersisa di rumah itu. Dia tak peduli seperti apa calon penghuni baru tersebut selama mereka tidak mengganggu kehidupannya.


Ting Tong

Ting Tong

Ting Tong

Ting Tong


"Apa mereka sudah gila? Tidak sabaran sekali." Sambil mengerutkan kening, sedikit terganggu dengan bunyi bel yang berdering tanpa henti itu, Ally meraih gagang pintu dan membukanya.

Kriett—

"Hello," ujar Ally menyapa dua sosok gadis yang kini berdiri di hadapannya. Yang satu berambut merah—tersangka pemencet bel barusan dan yang satu lagi seorang gadis berambut hitam khas orang negeri tropis. Ally melemparkan senyuman modelnya pada mereka berdua.

"Kurtzee dan Puri, benar? Silakan masuk."

Label: